Ibu Ayah
Aku Butuh Kasih Mu
“Ibu, bantu Dita buat
kapal-kapalan ya,” pinta Dita kepada sang ibu yang sedang asik berbincang
dengan tamu dari luar kota.
“Nak..ibu masih ada tamu. Tuh ayah
pulang. Sana minta bantuan ayah!” jawab sang ibu acuh.
Dengan langkah kecewa, Dita menghampiri ayahnya.
“Ayah…Dita minta bantuan..ini,”
dengan menyodorkan kertas bekas, gadis belia itu masih tertunduk lesu.
Dering telefon dari HP layar
sentuh menggagalkan niat sang ayah untuk membantu anak lugu yang masih duduk di
bangku Taman Kanak-Kanak (TK) itu.
Seperti itulah sketsa hidup si
Dita. Orang tuanya memang kaya..harta. Akan tetapi tidak untuk kasih sayang. Dahulu, segala
perhatian ditumpahkan ke anak tunggal itu. Namun, kini agaknya sudah tidak
berlaku.
Wajah ceria yag selalu
diperlihatkan Dita, kini lenyap bersama dengan kasih ibu dan ayahnya. Hanya seorang
nenek renta sebagai teman Dita diusia belianya.
“Nenek..bantu Dita selesaiin
kapal-kapalannya ya. Ibu dan ayah sibuk,” rengek Dita pada nenek.
Dengan berbagai gerakan tangan,
nenek berusaha mengumpulkan pesan kepada cucunya yang berambut lurus sepundak
itu. Hanya pesan dalam bisu. Itulah sosok nenek yang tak kenal lelah membimbing
cucu manis itu.
Kebiasaan
ayah pergi ke luar kota menumbuhkan kejenuhan bagi anaknya. Ibu yang hobi
arisan membuahkan kekesalan di sanubari buah hatinya. Di mana keharmonisan
keluarga yang dulu ada?
Pukul tujuh tepat Dita berangkat
ke rumah ke duanya. Diantar motor matic grass milik ayah yang berprofesi dokter
itu. Meski batin memendam rasa yang sangat mengusik, tetapi niat tetap menjadi
motivasi tersendiri bagi Dita.
Lantunan doa dari ibu yang
pernah menjadi bekal sekolah, kini tak ditemukan lagi. Sesungging senyumanlah
yang tak pernah berubah dari nenek yang tak mampu berucap itu.
Motor
itu meluncur begitu saja. Kacamata hitam yang setia melekat di saku ayah, tetap
menjadi penghias di pagi itu. Berbagai kata dilontarkan oleh gadis itu. Tak sehuruf
pun diberikan oleh ayah . mungkin sang ayah sudah bisu seperti bundanya.
Dua
jam telah terarungi. Waktu pulang adalah saat yang dinanti. Karena saat itulah Dita
kembali bercerita lepas dengan ayahanda. Namun, kini telah berbeda. Lima belas
menit adalah waktu yang lama untuk menunggu ayah. Karena tidak sabar dengan
penantian itu, Dita nekat pulang dengan berjalan kaki. Ya,tanpa berceloteh
lagi. Tanpa seorang lelaki berdasi rapi yang katanya bakal menjadi dokter
terkenal. Katanya.
Harap cemas yang dirasa oleh
nenek, telah berhasil membuat risau di batin. Mana cucuku? mungkin itu bisiknya
dalam batin. Sayang, nenek terlahir dalam keadaan tanpa suara. Andaipun ada
toko penjual suara, pasti sudah diborongnya untuk bekal memarahi, menceramahi,
bahkan memaki anak dan menantunya yang bertingkah layaknya tak punya anak.
Hujan
mengguyur tubuh bumi saat itu. Pukul setengah sebalas, nenek dengan payung
bututnya bergegas mencari Dita. Ibunya tak kunjung pulang dari salon langganan.
Ayah yang sudah gila dengan pasien-pasien yang dilayaninya tak pula menampakkan
batang hidungnya.
GUBRAKK…….
“Tabrak larii..tabrak
larii…” teriak warga di jalan licin dekat TK.
Darah menjadi
selimut. Gemercik air sebagai lantunan pengiring surga. Tas hijau terpaut satu
meter dari korban. Sebentar. Tas hijau?
“Dita.. Ya Allah. Segera bawa ke rumah sakit,” perintah Bu Guru
pada warga.
Ahh..
ternyata, gadis itu menjadi korban. Rasanya Tuhan tak adil. Dita. Kepolosannya membuat
orang lain merasa iba. Pita merah di rambut hitamnya menambah wibawa bocah itu.
Lantas, di mana ayah ibunya?
Berbaring dan
hanya bisa berbaring. Pipa yang menyalur ke hidungnya, rasanya tak pantas bagi
Dita. Dia terlalu baik. Namun takdir tak sebaik sikapnya. Nenek hanya membiarkan tumpahan air mata di bumi pipinya yang tak lagi berisi karena
digerogoti usia.
Sementara itu….di
rumah nun jauh di desa sana.
“Bu, Dita,
nenek..di mana kalian?” ujar sang ayah sepulang dari pekerjaan yang sebenarnya
mulia.
“Ibu,
kenapa nangis? Di mana Dita?” tanya lelaki itu pada istri yang dahulu bisa
dibilang sholihah.
Dengan tanpa
berucap, perempuan itu mempersembahkan kertas pada suaminya. Berisikan..
“ Untuk anak dan menantuku.
Dita sekarang di rumah sakit. Jika kalian
masih mengaku sebagai orang tuanya, silahkan
datang. Nenek kira, nenek adalah seburuk-buruk insan di dunia karena nenek
bisu. Ternyata nenek salah. Karena selama enam tahun ini, anak dan menantu
nenek ternyata lebih dari bisu. Kalian buta. Harta sudah menjadi hantu bahkan
setan bagi kalian. Sampai-sampai darah daging kalian tak kalian hiraukan. Ingat
nak..jangan ke rumah sakit jika hati mu masih ada setan. Datanglah dengan kasih
dan sayang, tidak dengan harta kalian..
Dari : nenek “
Terbukalah sudah
hati yang selama ini tertutup rapat dan bungkam ditelan gemerlap dunia.
Menangis,
menyesal. Ya..hal yang pasti akan terjadi. Beruntung Tuhan masih memberikan
waktu untuk bertemu Dita.
Menenjang hujan di sepanjang jalan, demi Dita tercinta. Buah hati
satu-satunya, yang memang wajar jika bersikap manja. Karena Dita sangat belia
dan behak mendapatkan kasih sayang dari orang tua. Bukan uang yang hanya
bersifat fana.
“Nek, ibu sama ayah mana?” tutur lugu itu sudah
terdengar lagi.
“Nak..ibu
dan ayah datang,” sahut orang dari pintu yang ternyata ibu dan ayah Dita.
“Maafkan
ayah dan ibu ya Nak. Kita janji akan
lebih perhatian ke Dita, ke nenek juga. Ibu sadar, ibu terlalu sibuk dengan
pekerjaan dan ayah juga. Tapi selama ini ibu dan ayah tidak sadar bahwa
ternyata ibu dan ayah punya buah hati sepintar, secantik, sesabar Dita. Dita..kamu
jagoan kita nak. Pengantar ibu dan ayah menuju surga kelak,” ucap ibu dengan
cucurah tangisnya. Dan bla,bla,bla.
Seperti
itulah sketsa akhir dari keluarga harmonis. Kembali hadir beribu doa. Kembali ada
berjuta canda. Dan kapal-kapalan itu menjadi pelindung kecil dari sebuah
keluarga. Ya. Dita. Mainan kapal menjadi penyalur kedekatan mereka. Nenek dengan
bahasa isyaratnya menambah kehangatan dicelah keluarga.
Harta
bukanlah segalanya. Namun cinta, kasiah, dan sayang orang tua kepada anaknya adalah
kunci gerbang surga di alam sana. Bukan di dunia yang fana.