Sabtu, 24 Mei 2014

cerpen



Ibu  Ayah  Aku Butuh Kasih Mu
                “Ibu, bantu Dita buat kapal-kapalan ya,” pinta Dita kepada sang ibu yang sedang asik berbincang dengan tamu dari luar kota.
                “Nak..ibu masih ada tamu. Tuh ayah pulang. Sana minta bantuan ayah!” jawab sang ibu acuh.
                Dengan langkah kecewa, Dita menghampiri  ayahnya.
                “Ayah…Dita minta bantuan..ini,” dengan menyodorkan kertas bekas, gadis belia itu masih tertunduk lesu.
                Dering telefon dari HP layar sentuh menggagalkan niat sang ayah untuk membantu anak lugu yang masih duduk di bangku Taman Kanak-Kanak (TK) itu.
                Seperti itulah sketsa hidup si Dita. Orang tuanya memang kaya..harta. Akan tetapi  tidak untuk kasih sayang. Dahulu, segala perhatian ditumpahkan ke anak tunggal itu. Namun, kini agaknya sudah tidak berlaku.
                Wajah ceria yag selalu diperlihatkan Dita, kini lenyap bersama dengan kasih ibu dan ayahnya. Hanya seorang nenek renta sebagai teman Dita diusia belianya.
                “Nenek..bantu Dita selesaiin kapal-kapalannya ya. Ibu dan ayah sibuk,” rengek Dita pada nenek.
                Dengan berbagai gerakan tangan, nenek berusaha mengumpulkan pesan kepada cucunya yang berambut lurus sepundak itu. Hanya pesan dalam bisu. Itulah sosok nenek yang tak kenal lelah membimbing cucu manis itu.
                Kebiasaan ayah pergi ke luar kota menumbuhkan kejenuhan bagi anaknya. Ibu yang hobi arisan membuahkan kekesalan di sanubari buah hatinya. Di mana keharmonisan keluarga yang dulu ada?

                Pukul tujuh tepat Dita berangkat ke rumah ke duanya. Diantar motor matic grass milik ayah yang berprofesi dokter itu. Meski batin memendam rasa yang sangat mengusik, tetapi niat tetap menjadi motivasi tersendiri bagi Dita.
                Lantunan doa dari ibu yang pernah menjadi bekal sekolah, kini tak ditemukan lagi. Sesungging senyumanlah yang tak pernah berubah dari nenek yang tak mampu berucap itu.
                Motor itu meluncur begitu saja. Kacamata hitam yang setia melekat di saku ayah, tetap menjadi penghias di pagi itu. Berbagai kata dilontarkan oleh gadis itu. Tak sehuruf pun diberikan oleh ayah . mungkin sang ayah sudah bisu seperti bundanya.
                                                                                               
                Dua jam telah terarungi. Waktu pulang adalah saat yang dinanti. Karena saat itulah Dita kembali bercerita lepas dengan ayahanda. Namun, kini telah berbeda. Lima belas menit adalah waktu yang lama untuk menunggu ayah. Karena tidak sabar dengan penantian itu, Dita nekat pulang dengan berjalan kaki. Ya,tanpa berceloteh lagi. Tanpa seorang lelaki berdasi rapi yang katanya bakal menjadi dokter terkenal. Katanya.
                                                                                                       
                Harap cemas yang dirasa oleh nenek, telah berhasil membuat risau di batin. Mana cucuku? mungkin itu bisiknya dalam batin. Sayang, nenek terlahir dalam keadaan tanpa suara. Andaipun ada toko penjual suara, pasti sudah diborongnya untuk bekal memarahi, menceramahi, bahkan memaki anak dan menantunya yang bertingkah layaknya tak punya anak.
                Hujan mengguyur tubuh bumi saat itu. Pukul setengah sebalas, nenek dengan payung bututnya bergegas mencari Dita. Ibunya tak kunjung pulang dari salon langganan. Ayah yang sudah gila dengan pasien-pasien yang dilayaninya tak pula menampakkan batang hidungnya.
                                                                                                                   
  GUBRAKK…….
“Tabrak larii..tabrak larii…” teriak warga di jalan licin dekat TK.
Darah menjadi selimut. Gemercik air sebagai lantunan pengiring surga. Tas hijau terpaut satu meter dari korban. Sebentar. Tas hijau?
“Dita.. Ya Allah.  Segera bawa ke rumah sakit,” perintah Bu Guru pada warga.
Ahh.. ternyata, gadis itu menjadi korban. Rasanya Tuhan tak adil. Dita. Kepolosannya membuat orang lain merasa iba. Pita merah di rambut hitamnya menambah wibawa bocah itu. Lantas, di mana ayah ibunya?
Berbaring dan hanya bisa berbaring. Pipa yang menyalur ke hidungnya, rasanya tak pantas bagi Dita. Dia terlalu baik. Namun takdir tak sebaik sikapnya.  Nenek hanya membiarkan tumpahan air mata  di bumi pipinya yang tak lagi berisi karena digerogoti usia.
Sementara itu….di rumah nun jauh di desa sana.
“Bu, Dita, nenek..di mana kalian?” ujar sang ayah sepulang dari pekerjaan yang sebenarnya mulia.
“Ibu, kenapa nangis? Di mana Dita?” tanya lelaki itu pada istri yang dahulu bisa dibilang sholihah.
Dengan tanpa berucap, perempuan itu mempersembahkan kertas pada suaminya. Berisikan..

“ Untuk anak dan menantuku.
Dita sekarang di rumah sakit. Jika kalian masih mengaku sebagai orang tuanya,  silahkan datang. Nenek kira, nenek adalah seburuk-buruk insan di dunia karena nenek bisu. Ternyata nenek salah. Karena selama enam tahun ini, anak dan menantu nenek ternyata lebih dari bisu. Kalian buta. Harta sudah menjadi hantu bahkan setan bagi kalian. Sampai-sampai darah daging kalian tak kalian hiraukan. Ingat nak..jangan ke rumah sakit jika hati mu masih ada setan. Datanglah dengan kasih dan sayang, tidak dengan harta kalian..
Dari : nenek “
Terbukalah sudah hati yang selama ini tertutup rapat dan bungkam ditelan gemerlap dunia.
Menangis, menyesal. Ya..hal yang pasti akan terjadi. Beruntung Tuhan masih memberikan waktu untuk bertemu Dita.
                      Menenjang hujan di sepanjang jalan, demi Dita tercinta. Buah hati satu-satunya, yang memang wajar jika bersikap manja. Karena Dita sangat belia dan behak mendapatkan kasih sayang dari orang tua. Bukan uang yang hanya bersifat fana.



 
“Nek, ibu sama ayah mana?” tutur lugu itu sudah terdengar lagi.
“Nak..ibu dan ayah datang,” sahut orang dari pintu yang ternyata ibu dan ayah Dita.
“Maafkan ayah dan  ibu ya Nak. Kita janji akan lebih perhatian ke Dita, ke nenek juga. Ibu sadar, ibu terlalu sibuk dengan pekerjaan dan ayah juga. Tapi selama ini ibu dan ayah tidak sadar bahwa ternyata ibu dan ayah punya buah hati sepintar, secantik, sesabar Dita. Dita..kamu jagoan kita nak. Pengantar ibu dan ayah menuju surga kelak,” ucap ibu dengan cucurah tangisnya. Dan bla,bla,bla.
Seperti itulah sketsa akhir dari keluarga harmonis. Kembali hadir beribu doa. Kembali ada berjuta canda. Dan kapal-kapalan itu menjadi pelindung kecil dari sebuah keluarga. Ya. Dita. Mainan kapal menjadi penyalur kedekatan mereka. Nenek dengan bahasa isyaratnya menambah kehangatan dicelah keluarga.
Harta bukanlah segalanya. Namun cinta, kasiah, dan sayang orang tua kepada anaknya adalah kunci gerbang surga di alam sana. Bukan di dunia yang fana.